Perkembangan daging sintetis telah menjadi topik yang kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian melihatnya sebagai inovasi yang dapat mengatasi masalah ketersediaan daging dan dampak lingkungan yang disebabkan oleh industri peternakan. Namun, ada juga yang mengkhawatirkan bahaya terkait dengan konsumsi daging sintetis. Data nutrisi merupakan faktor kunci dalam memahami apakah daging sintetis dapat menjadi alternatif yang sehat.

Daging sintetis, yang juga dikenal sebagai daging tanpa hewan, diproduksi dengan menggunakan teknologi sel mamalia yang dibiakkan di laboratorium. Beberapa produsen telah mengklaim bahwa daging sintetis memiliki nilai nutrisi yang serupa dengan daging asli, dengan kadar protein tinggi dan rendah lemak jenuh. Misalnya, burger daging sintetis yang diproduksi oleh perusahaan terkemuka seperti Impossible Foods dan Beyond Meat mengandung sekitar 20 gram protein per porsi, yang setara dengan daging sapi. Ini bisa menjadi solusi untuk masalah pangan global karena produksi daging tradisional memiliki dampak besar terhadap lingkungan.

Proses produksi daging sintetis dimulai dengan pengambilan sampel sel-sel hewan yang akan dijadikan bahan dasar, seperti sel-sel otot atau sel-sel lemak. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Willem van Eelen pada tahun 1999 dan sejak itu telah mengalami perkembangan signifikan. Proses produksi daging sintetis melibatkan beberapa tahap penting. Pertama, sel-sel hewan yang diambil secara non-invasif melalui biopsi dimasukkan ke dalam media pertumbuhan yang mengandung nutrisi esensial seperti gula, asam amino, dan faktor-faktor pertumbuhan. Media ini memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel-sel untuk berkembang dan membelah diri. Kedua, sel-sel tersebut ditempatkan dalam bioreaktor, suatu lingkungan yang dikendalikan dengan suhu, kelembaban, dan oksigen yang sesuai. Di dalam bioreaktor, sel-sel tumbuh dan berkembang menjadi jaringan otot atau lemak, mirip dengan cara tubuh hewan memproduksi daging. Proses ketiga adalah pembentukan struktur daging. Untuk mencapai tekstur daging yang mirip dengan asli, jaringan yang dihasilkan di bioreaktor seringkali diberi rangsangan mekanis seperti peregangan atau kontraksi yang berulang-ulang. Selama seluruh proses ini, tanpa ada hewan yang harus disembelih, dan dampak lingkungan yang dihasilkan secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan produksi daging tradisional.

Daging sintetis memiliki sejumlah keunggulan dan bahaya yang perlu dipertimbangkan dalam perbandingannya dengan daging sapi dari hewan ternak. Keunggulan utama daging sintetis adalah potensinya untuk mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh peternakan hewan ternak. Dalam produksi daging sintetis, emisi gas rumah kaca yang tinggi, deforestasi, dan pemanfaatan sumber daya air yang besar dapat diminimalkan. Sebuah studi oleh Lynch et al. (2019) menemukan bahwa produksi daging sintetis dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 96% dibandingkan dengan daging sapi konvensional. Selain itu, dengan teknologi ini, ada potensi untuk mengendalikan komposisi nutrisi daging sintetis, termasuk kadar lemak dan protein. Dalam hal kandungan nutrisi, daging sintetis dapat diatur dengan baik, dengan kemungkinan mengurangi lemak jenuh dan mengontrol komposisi lemak, sehingga dapat dianggap lebih sehat. Meskipun demikian, perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami secara mendalam komposisi nutrisi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia.

Meskipun daging sintetis menawarkan potensi untuk mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan meminimalkan adanya ketidaksejahteraan hewan dalam produksi daging, ada beberapa kekhawatiran yang perlu dipertimbangkan. Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa daging sintetis dapat mengandung bahan tambahan kimia tertentu yang digunakan dalam proses produksi. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konsumsi daging sintetis dalam jangka panjang mungkin memiliki dampak kesehatan yang belum sepenuhnya dipahami.

Dalam memahami kandungan nutrisi pada daging sintetis dan membandingkannya dengan daging sapi dari hewan ternak, perlu diperhatikan bahwa kandungan nutrisi dapat bervariasi tergantung pada metode produksi dan komposisi sel yang digunakan dalam proses kultivasi daging sintetis.

Dalam daging sintetis, kadar protein umumnya tinggi, dan ini tergantung pada jenis sel yang digunakan dalam proses pembuatannya. Sebuah penelitian yang diterbitkan di “Frontiers in Sustainable Food Systems” pada tahun 2020 menunjukkan bahwa daging sapi kultivasi yang dihasilkan menggunakan sel-sel otot memiliki kadar protein yang setara atau bahkan lebih tinggi daripada daging sapi konvensional (Post, 2020). Kadar lemak dalam daging sintetis juga dapat diatur, yang memungkinkan produsen untuk menciptakan produk dengan kadar lemak yang lebih rendah daripada daging sapi tradisional. Namun, ada perbedaan dalam komposisi lemak. Daging sapi konvensional mengandung lemak jenuh, sedangkan daging sintetis dapat dirancang dengan lemak yang lebih sehat, seperti asam lemak tak jenuh tunggal dan ganda. Ini dapat menjadi aspek positif dalam hal kesehatan jantung. Selain itu, daging sintetis tidak mengandung hormon pertumbuhan, antibiotik, atau residu pestisida yang terkadang ditemukan dalam daging sapi dari hewan ternak. Hal ini mengurangi risiko kesehatan terkait dengan konsumsi daging sapi konvensional.

Selain itu, daging sintetis dapat membantu mengurangi isu animal welfare hewan dalam proses produksi daging. Tidak ada hewan yang harus disembelih dalam proses produksi daging sintetis, yang berarti tidak ada penyiksaan hewan, pemotongan, atau praktik yang merugikan. Namun, ada beberapa bahaya yang perlu dipertimbangkan. Proses produksi daging sintetis dapat melibatkan penggunaan bahan kimia dan zat aditif tertentu yang belum sepenuhnya dijelaskan dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan manusia. Selain itu, daging sintetis saat ini masih mahal dalam produksi, dan ada tantangan dalam mencapai skala ekonomis yang memadai.

Sementara ada yang percaya bahwa regulasi yang ketat dapat mengatasi masalah ini, sejumlah penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari konsumsi daging sintetis terhadap kesehatan manusia. Inovasi ini masih dalam tahap pengembangan, dan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko potensial dan memastikan bahwa daging sintetis aman dan bergizi.

Dalam menghadapi perkembangan daging sintetis, sumber daya yang relevan harus diakses secara cermat. Oleh karena itu, penelitian dan regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa daging sintetis dapat diintegrasikan ke dalam makanan manusia dengan aman dan berkelanjutan. Hanya dengan pemahaman yang lebih baik tentang potensi manfaat dan risikonya, kita dapat menilai apakah daging sintetis adalah inovasi yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan kita akan makanan yang aman, bergizi, dan berkelanjutan.

Referensi :

Bhat, Z. F., & Fayaz, H. (2011). Prospectus of cultured meat—advancing meat alternatives. Journal of Food Science and Technology, 48(2), 125-140.

Lynch, J., Pierrehumbert, R., Barrangou, R., Bavel, B. V., Berhe, A. A., Crevel, R. W. R., … & Gastronomica (Firm). (2019). The carbon footprint of cell-based meat: Life cycle assessment of future food. UC Press E-Books Collection, 1982-2004.

Poh, Y. K., Piret, J. M., & Zhang, X. (2021). Analysis of nutrient utilization in cultured meat: A comprehensive review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 20(5), 4613-4636.

Post, M. J. (2012). Cultured meat from stem cells: Challenges and prospects. Meat Science, 92(3), 297-301.

Post, M. J. (2020). Cultured meat from stem cells: Challenges and prospects. Frontiers in Sustainable Food Systems, 4, 61.

Stephens, N., Di Silvio, L., Dunsford, I., Ellis, M., Glencross, A., & Sexton, A. (2018). Bringing cultured meat to market: Technical, socio-political, and regulatory challenges in cellular agriculture. Trends in Food Science & Technology, 78, 155-166.

Van Eelen, W. M. (1999). Industrial scale production of meat from in vitro cell cultures. In Vitro Cellular & Developmental Biology – Plant, 35(2), 89-91.

Translate »