Tanggal 19 Nopember 2016 di Kampus Fapet Unpad Jatinangor
Unit Kegiatan Mahasiswa Cattle Buffalo Club Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran telah menyelenggarakan talkshow Quo Vadis Peternakan pada hari Sabtu, 19 November 2016 pukul 08.00 – 12.30 WIB yang bertempat di Amphiteather Gedung 4 Fakultas Peternakan UNPAD. Quo Vadis pembangunan Peternakan sapi potong di Indonesia adalah topik talkshow yang mempertanyakan mengenai arah tujuan pembangunan peternakan sapi potong di Indonesia. Karena generasi yang akan datang adalah para mahasiswa yang akan berperan mengelola pembangunan tersebut, “Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi”. Selain bertujuan untuk saling bertukar pikiran, pengetahuan, pengalaman dan gagasan, talkshow ini juga membahas persoalan kebijakan pembangunan peternakan saat ini.
Pemateri pada talkshow Quo Vadis Peternakan diantaranya Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS. (Sekretaris Jendral Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia & Pengamat Politik di sub Sektor Sapi Potong); Drh. Dwi Cipto Budinuryanto, MS. (dosen senior yang Dokter Hewan), M. Harun Alrasyid (Wakil Ketua Komite Tetap Industri Peternakan & Kemitraan KADIN Indonesia) dan Asep Abdullah (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat). Keempat pemateri ini menyampaikan materi dan pandangannya terkait dengan kebijakan baru di bidang peternakan yang ada saat ini.
Talkshow ini membahas beberapa kebijakan pemerintah khususnya Kementan yakni dibukanya keran impor daging dan jeroan, sapi siap potong, daging kerbau India dan rasio impor sapi bakalan dan sapi indukan sebagai upaya untuk menurunkan harga sapi dan juga peningkatan konsumsi daging, sapi di Indonesia.
Menurut Rochadi Tawaf, bahwa pernyataan Mentan yang dilansir beberapa media saat melakukan kampanye GERAKAN INSEMINASI BUATAN di Bogor, bahwa harga daging tidak usah dipermasalahakan lagi menarik untuk dibahas. Rochadi Tawaf menyatakan bahwa biang keladinya carut marut harga daging sapi diawali dengan berubahnya kebijakan peningkatan produksi berubah menjadi pendekatan harga dengan keluarnya permendag No. 633/2013. Juga dengan pernyataan Jokowi yang menginginkan harga daging Rp. 80 ribu/kg. Hingga kini harga daging sulit dikendalikan dan akibat kebijakan yang tersebut pembanguan peternakan sapi potong menjadi tidak konsusif, 32 perusahaan feedlot diadili KPPU dan dikenakan denda ratusan milyar rupiah, beberapa perusahaan feedlot bangkrut di dalam dan di luar negeri, dampak luasnya peternakan rakyat tidak bergairah karena menurunnya harga menyebabkan mereka tidak melakukan usaha penggemukan lagi. Selanjutnya, yang disorot langsung oleh para stakeholder yaitu keberanian Kementan dalam membuka keran impor daging kerbau India yang merupakan salah satu Negara belum bebas PMK (Penyakit Mulut dan Kuku). Indonesia sebagai Negara yang bebas PMK harus mengaudit keras kebijakan Kementan ini. Disamping kebijakan impor daging kerbau oleh Kementerian Pertanian, Mentan Amran menyatakan bahwa hasil rapat menyepakati kebijakan baru impor sapi untuk importir swasta harus memenuhi ketentuan 5:1 impor sapi bakalan dan indukan. Kebijakan ini adalah salah satu upaya mempercepat stock sapi bakalan di dalam negeri, namun hal ini banyak di tanggapi oleh para feedloter dimana kebijakan baru ini akan sangat merugikan bisnis feedlot, sebab bisnis perbibitan tidak menguntungkan. Sebagai contoh program KUPS (kredit Usaha Perbibitan Sapi) tidak ada sukses story nya. Dan sesusungguhnya perbibitan adalah tugas pemerintah.
Foto peserta talkshow quo vadis
Tanggapan masyarakat mengenai berbagai kebijakan pembangunan peternakan ini tidak menyetujuinya, terutama kebijakan impor daging India yang sangat merugikan Indonesia sebagai Negara yang berstatus bebas penyakit PMK. Menurut Drh. Dwi Cipto; Indonesia juga dianggap belum dapat memenuhi persyaratan impor dari segi prosedur maupun sumberdaya manusia yang sesuai dengan standar yang dikeluarkan OIE. “Kebijakan daging kerbau impor diakibatkan karna produsen dalam negeri tidak mampu menyediakan harga yang sesuai, sehingga Indonesia bergantung pada impor dan dampaknya kesejahteraan peternak rakyat sekarang menjadi semakin terlihat ” papar para narasumber.
Kebijakan daging kerbau impor ini juga menyorot perhatian dokter hewan terkait dengan penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) “Pemerintah seharusnya menempatkan PMK sebagai penyakit hewan menular utama, walaupun PMK bukan penyakit zoonosis tapi termasuk penyakit menular hewan utama yang spesifik” tutur Drh. Dwi Cipto Budinuryanto, MS. sebagai Dokter Hewan. Kemudian adapula tanggapan yang dipaparkan oleh M. Harun Alrasyid “ bahwa Pemerintah harusnya lebih memperhatikan grading sebagai pembeda daging sapi dan kerbau di pasaran dan juga perlu diadakannya pengawasan rutin dalam upaya pencegahan masuknya PMK di negeri ini”. Sementara itu pemerintah yang diwakili Ir, Asep Abdoelah mengharapkan peran serta para mahasiswa utuk membangun peternakan sapi di Jawa Barat.
Akhir acara Talkshow Quo Vadis ini disamping dari pembahasan dan juga diskusi antara narasumber dan peserta yang hadir, Cattle Buffalo (CBC) Fakultas Peternakan UNPAD, PPSKI DPD Jawa Barat dan juga Dinas Peternakan Jawa Barat meresmikan gerakan “Good Farming Practice (GFP)” yang dibuat oleh CBC atas kesadaran dan empati terhadap kondisi peternakan sekarang, dimana bentuk gerakan ini adalah penyebaran leaflet GFP yang berkonsep pada pembelajaran teknis dalam berternak dan juga manajemen peternakan yang baik untuk peternak rakyat yang langsung menerjuni lapangan peternakan. Gerakan ini di inspirasi dalam upaya melindungi peternak sapi lokal sebagai akibat dengan masuknya daging India. Kita khawatir dengan masuknya daging India sebagai negara yang belum bebas PMK jika tidak diproteksi oleh peternak sendiri, mungkin akan terjadi out break PMK. Sebab pemerintah tidak melakukan maksimum sekuriti untuk mengeluarkan PP tentang SISKESWANAS dan OTORITAS VETERINER yang diamanatkan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Foto peresmian gerakan “Good Farming Practice”
Foto bersama penutupan talkshow quo vadis