Bandung, 1 Juni 2018
Cattle Buffalo Club
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Situasi dan kondisi persusuan nasional kini sudah masuk dalam keadaan darurat. Mengapa? Berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), telah terjadi penurunan populasi sapi perah, produksi susu, dan jumlah koperasi di Jawa Barat dalam kurun waktu 2010-2017. Diperkirakan kondisi tersebut akan semakin memburuk tiap tahunnya. Menurut Dewan Persusuan Nasional, saat ini kontribusi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya 20%. Padahal dua dasawarsa yang lalu produksi SSDN mampu berkontribusi 50% terhadap produksi susu nasional.
Pada tanggal 18 Juli 2017, pemerintah melalui Kementerian Pertanian menerbitkan Permentan No. 26 tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Melalui permentan tersebut pemerintah mengeluarkan skema kemitraan antara pelaku usaha (dalam hal ini Industri Pengolahan Susu/IPS) dengan peternak, kelompok ternak atau koperasi dalam upaya meningkatkan SSDN.
Saat ini, dari 60 lebih IPS hanya 14 perusahaan saja yang melakukan kemitraan dengan koperasi. Artinya hanya 14 IPS saja yang menyerap SSDN dan perusahaan lainnya melakukan importasi baik itu berupa Skim Milk Powder (SMP), Whole Milk Powder (WMP), Anhydrous Milk Fat (AMF), maupun Butter Milk Powder (BMP). Kontribusi SSDN dalam kebutuhan susu nasional hanya sekitar 20% dimana sebanyak 80% masih dipenuhi oleh susu impor.
Dengan adanya permentan tersebut diharapkan IPS bisa melakukan kemitraan dengan peternak rakyat melalui wadah koperasi. Namun, apakah sudah tepat dengan dikeluarkannya permentan ini dapat memayungi pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut?
Hari Susu Nusantara
Hari Susu Nusantara diperingati setiap tanggal 1 Juni. Pada tahun ini, Cattle Buffalo Club Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran menggunakan momentum ini dengan mengadakan sebuah Talkshow Nasional dengan tema Sinergisitas Industri Pengolahan Susu dengan Peternak Sapi Perah Kerakyatan. Pemateri yang dihadirkan berasal dari berbagai lembaga terkait yaitu Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Dewan Persusuan Nasional (DPN), Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), dan Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) dengan dipandu oleh moderator dari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Namun sangat disayangkan APSPI tidak bisa hadir mengikuti talkshow. Selain itu juga dihadiri oleh peternak sapi perah dan anggota PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia) serta para mahasiswa.
Menanggapi latar belakang Permentan No. 26/2017, menurut perwakilan Ditjen PKH, permentan ini lahir dari keprihatinan Kementan ketika melakukan kunjungan lapangan peternakan sapi perah di Jawa Barat. Dengan mengundang beberapa pakar untuk mencari akar permasalahannya, akhirnya dirumuskanlah regulasi-regulasi seperti yang tertuang dalam permentan. Regulasi ini termasuk baru setelah hampir 20 tahun tidak adanya pembaruan regulasi. Dengan adanya permentan ini diharapkan bisa menjadi pemacu kementerian terkait lainnya untuk mengeluarkan regulasi di bidangnya masing-masing untuk memperbaiki kondisi persusuan di negeri ini.
Dalam talkshow, Ketua Umum DPN Teguh Boediyana memaparkan sinergisitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat kondisi peternak kita yang tidak bisa berdiri sendiri. Dilihat secara historis pada tahun 1978, semua IPS dipaksa untuk melakukan sinergisitas dengan peternak rakyat apabila ingin mendapatkan kuota impor susu. Regulasi tersebut mampu menaikan harga susu di tingkat peternak dari Rp60/liter menjadi Rp150/liter sehingga tanpa didorong pun peternak sudah merasakan betapa untungnya beternak sapi perah.
Pada saat itu, pemerintah dengan melakukan impor sapi induk dan menyediakan kredit bagi peternak berhasil meningkatkan gairah peternakan sapi perah rakyat dengan semakin besarnya jumlah penyerapan SSDN oleh IPS. Regulasi tersebut pada akhirnya melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementerian yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Dengan adanya SKB tersebut, terjadilah sinergisitas antara IPS dan peternak rakyat.
Maksud dari Inpres No. 2/1985 di dalamnya terkandung unsur upaya bagaimana mengatur sinergitas antara IPS dan peternak rakyat. Namun, saat itu jumlah IPS yang semakin banyak sedangkan produksi SSDN kurang, sehingga IPS kekurangan susu. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kebijakan ekualisasi dimana IPS diizinkan untuk melakukan importasi susu untuk memenuhi kebutuhannya dengan syarat menyerahkan bukti serap SSDN dari peternak rakyat. Melalui kebijakan ini, produksi SSDN meningkat tajam sehingga mampu berkontribsi 50% terhadap produksi IPS.
Ketika terjadi krisis moneter, pemerintah menandatangani perjanjian dengan International Monetary Fund (IMF) sehingga lahirlah Inpres No. 4/1998 yang mencabut Inpres No. 2/1985. Regulasi baru ini tidak lagi mengatur kebijakan sinergitas yang sebelumnya dipaksakan dan tidak adanya lagi proteksi terhadap peternakan sapi perah. IPS pada saat itu bebas melakukan importasi susu tanpa harus menyerap SSDN dari peternak rakyat sehingga memperburuk kondisi peternak. Sebaliknya, IPS semakin berjaya termasuk keterlibatannya dalam penentuan kualitas susu. Sinergitas harus berangkat dari kesadaran dan saling menguntungkan semua pihak. Oleh sebab itu, Dewan Persusuan Nasional lahir sebagai wadah penampung aspirasi baik itu dari IPS, koperasi, maupun dari peternak.
Menurut perwakilan AIPS, sinergisitas ini sudah dari dulu terbentuk dengan diinisiasi oleh Nestle melalui tim agriservices yang kemudian diikuti oleh IPS lainnya. Namun, ketersediaan SSDN yang tidak mampu memenuhi kebutuhan IPS menyebabkan sebagian IPS harus melakukan importasi susu dan tidak melakukan kemitraan. Dalam hal ini, di antara IPS pun terjadi persaingan dalam mendapatkan SSDN yang terbatas. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan konsep kemitraan untuk membina sebuah kemitraan yang tidak dipaksakan karena masing-masing pihak mempunyai pemikiran dan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah standar kualitas SSDN. Perlu diketahui pula bahwa tidak semua IPS tergabung dalam asosiasi. Dalam hal ini IPS yang tergabung dalam AIPS tidak akan mundur dalam melakukan perbaikan kemitraan dengan koperasi maupun peternak.
Sebagai ketua umum GKSI, Dedi Setiadi mengungkapkan bahwa lahirnya koperasi susu berawal dari kondisi peternak sapi perah rakyat yang hanya memiliki 2-4 ekor sapi perah dengan sifatnya yang perisable membuat penanganannya pun harus dilakukan secara kolektif. Lebih lanjut dengan adanya Inpres No. 2/1985, peternak dilindungi oleh pemerintah. Namun sejak lahirnya Inpres No. 4/1998 mengganti Inpres No. 2/1985, selama 20 tahun pemerintah tidak hadir dalam perlindungan peternak sapi perah rakyat. Melalui permentan ini secara tidak langsung melegalkan hubungan IPS dengan koperasi dengan pemerintah sebagai pihak penghubung. Selain itu juga, permentan ini diharapkan bisa menjadi starting point sebuah regulasi yang berpihak kepada peternak rakyat, kelompok, koperasi, dan IPS. Harapannya dengan adanya permentan ini, bisa menimbulkan sebuah kemitraan yang terukur dan terarah sehingga ada win-win solution bagi semua pihak.
Lebih lanjut, perwakilan Ditjen PKH mengungkap bahwa pelaksanaan dari permentan ini dilakukan secara musyawarah diantara pihak-pihak yang ingin melakukan kemitraan. Pada dasarnya, kemitraan terjadi sesuai dengan kebutuhan dengan adanya tim yang mengarahkan agar kemitraan ini bisa mencakup semuanya dan dapat bermanfaat. Melalui kemitraan diharapkan dapat mengembangkan peternakan sapi perah. Namun saat ini, perbaikan dari sisi on farm dirasa kurang tepat. Selain bibit unggul yang mahal, ketersediaan lahan dalam menampung sapi tambahan pun sangat sulit. Pemberian sapi kepada peternak pun tidak efektif karena dapat menjadi beban kerja tambahan.
Setelah pemaparan oleh pemateri, beberapa peserta talkshow memberikan pertanyaan dan saran kepada para pemateri. Salah satunya dari Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Barat dimana dunia peternakan sudah saatnya menerapkan teknologi IT terbaru agar dapat menyesuaikan dengan zaman. Seperti halnya penerapan teknologi IT di KPBS dimana Milk Collecting Point (MPC) untuk pertama kalinya menggunakan sistem digital dan kartu keanggotaan menggunakan sistem barcode. Selain itu, perlu adanya transparansi dana CSR IPS maupun importir dimana dana yang dikeluarkan untuk CSR harus sesuai dengan nilai impor yang dilakukan.
Deklarasi
Di akhir acara mengingat kondisi persusuan yang sudah memasuki keadaan darurat, maka Cattle Buffalo Club (CBC) menginisiasi adanya Deklarasi Persusuan atas nama kesejahteraan peternak sapi perah rakyat yang dibacakan langsung oleh Ketua Umum CBC Ramaulana Rizqi Mutyar. Terdapat tiga poin yang menjadi perhatian deklarasi ini, yaitu:
- Menuntut agar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah rakyat melalui perencanaan pengembangan peternakan sapi perah (road map) menggunakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dengan sentuhan penerapan teknologi informasi yang berkelanjutan.
- Membuat payung hukum berupa peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang mengatur sinergitas antar lembaga, kementerian terkait, dan perlindungan peternak sapi perah rakyat.
- Mengajak seluruh mahasiswa peternakan seluruh Indonesia untuk terus mengawal arah kebijakan pemerintah terhadap perlindungan dan pengembangan peternakan sapi perah rakyat.
Lebih lanjut, dengan adanya talkshow ini bisa menjadi momentum bagi semua pihak melakukan evaluasi dan monitoring terhadap perkembangan persusuan nasional guna mencapai target produksi dan konsumsi SSDN yang semakin meningkat.
Ketua Umum Cattle Buffalo Club
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Ramaulana Rizqi Mutyar
Lampiran Kegiatan
|
||||||||
|
||||||||
|
||||||||
|
||||||||
|
||||||
|
||||||
|